Monday, May 9, 2011

Sejarah Mode Indonesia



Sejarah Mode Indonesia

Seperti apakah wajah mode Indonesia dari masa ke masa? Anda dapat menyaksikannya dalam pameran sejarah mode Indonesia di acara Festival Mode Indonesia 2007 ini. Lewat jajaran manekin dalam balutan aneka busana, Anda dapat menyaksikan ringkasan sejarah mode Indonesia yang sarat warna.
Mode Indonesia sendiri baru benar-benar tercatat baik secara rupa, lisan, maupun tulisan, pada tahun '50-an, yang diawali dengan kehadiran seorang maestro dan pelopor perancang busana Indonesia, Peter Sie. Melalui tangan dan kreativitas pria kelahiran Bogor inilah, profesi perancang busana lahir dan menyemarakkan gaya berbusana wanita di era tersebut. Seperti teknologi, mode juga berkembang dan berpacu dengan jaman, melahirkan maestro-maestro baru yang siap mewarnai panggung mode tanah air. Pada tahun '60-an dan '70-an misalnya, muncul nama Non Kawilarang, Elsie Sunarya, dan Irie Supit. Tak lama kemudian, lahir perancang-perancang baru yang turut mengembangkan industri ini. Mereka antara lain adalah Iwan Tirta, Prajudi Admodirdjo, Arthur Tambunan, dan Harry Darsono.Untunglah sejarah tak pernah berhenti tercipta. Hadirnya ajang Lomba Perancang Mode yang diadakan oleh majalah femina pada tahun 1979, membuahkan generasi perancang busana baru yang tak terbendung. Dari ajang inilah lahir nama-nama yang akrab di telinga para pemerhati dan pencinta mode Indonesia: Samuel Wattimena, Edward Hutabarat, Chossy Latu, Itang Yunasz, Dandy Burhan, Stephanus Hamy, Widhi Budimulia, Carmanita, Naniek Rahmat, Taruna Kusmayadi, Tuty Cholid, Anne Rufaidah, Denny Wirawan, Ferry Sunarto, Sally Koeswanto, Priyo Oktaviano, Billy Tjong, dan masih banyak lagi. Masing-masing dari mereka tampil dengan konsep berbusana yang berbeda-beda dan membuat gaya berbusana wanita maupun pria Indonesia semakin bervariasi dan atraktif!


Tapi sejarah mode tentu tak akan sesemarak ini tanpa kehadiran perancang-perancang berbakat lain yang hadir dengan kreativitas dan keberanian berkarya tersendiri. Mereka antara lain adalah Ghea S. Panggabean, Valentino Napitupulu, Arthur Harland, Ramli, Biyan Wanaatmadja, Sebastian Gunawan, Didi Budiardjo, Adrian Gan, Eddy Betty, Ronald V. Gaghana, Deden Siswanto, Arantx Adi, dan masih banyak lagi.
Kini tak tercatat berapa jumlah perancang busana yang ada di Indonesia. Yang pasti, kehadiran mereka dengan karya-karya jenius serta ide-ide kreatif, siap membuat panggung mode Indonesia semakin meriah. Dan melalui pameran inilah kami ingin agar para pengunjung, pemerhati, serta pencinta mode tanah air dapat melihat secara langsung keragaman warna dan rasa yang pernah tercatat dalam sejarah mode Indonesia.
Tahun '50-an ditandai dengan gaya berbusana klasik yang elegan, yang populer dengan sebutan gaya New Look. tahun '60-an terasa lebih berwarna dan bervariasi. Selain gaya berbusana elegan dan chic ala Jackie O yang juga menyebar ke Indonesia, gaya ini juga dimeriahkan dengan gaya serba mini. Menjelang akhir '60-an, gaya serba mini ini berkolaborasi dengan motif-motif berani, yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah A Go-go Look.
Mode di Tahun '70-an mode di Indonesia terlihat makin berwarna. Kehadiran perancang baru membuat nuansa warna yang sudah ada terlihat semakin kuat dan menarik. Tahun '70-an ini identik dengan gaya hippies serta gaya disco. Karena itulah gaya berbusana yang populer di era ini didominasi oleh celana bell bottom, kemeja pas badan dengan kerah super lebar, dan sebagainiya. Siluet untuk busana wanita sendiri masih banyak mengolah gaya mini serta potongan longgar.
karakter mereka masing-masing. Ada yang menampilkan gaya busana serba tumpuk beraura vintage, ada yang bergaya maskulin, bergaya cantik, terkesan mewah dan elegan hingga yang beragaya unik.  di masa itu sangat terpengaruh dengan gaya ini, sehingga gaya berbusana yang ada pun cenderung berukuran besar '90-an hingga sekarang adalah masa di mana gaya individual terlihat semakin berani bersuara. Tak heran jika di era ini, para perancang busana berbakat yang jumlahnya semakin banyak hadir dengan keunikan sendiri yang mencerminkan  Tahun '80-an adalah era 'powerful women'. Sesuai dengan era tersebut, di masa ini bermunculan busana dengan siluet serta besar, seperti padding yang menonjol di bagian bahu, siluet busana yang besar dan cenderung longgar. Permaian detail dan aksen berukuran besar (seperti kancing-kancing misalnya), serta paduan warna kontras. Perancang Indonesia
www.gunadarma.ac.id

Sejarah Tato Dalam Suku Dayak


Sejarah Tato Dalam Suku Dayak

Abad demi abad selalu disertai oleh tanda dan simbol. Baik dalam bentuk visual maupun non visual. Manusia merupakan pelaku utama penanda itu, ia adalah mahkluk yang penuh daya cipta, ide, estetika, kreativitas, serta rasa kemanusiaannya. Dalam kehidupan komunal, manusia menyepakati berbagai aturan dan norma, bahasa, dan akhirnya menyepakati tanda, dan lambang sebagai identitas bersama. Eksistensi identitas itulah yang menuntun manusia mengurangi, menambah, mengatur dan mengubah bagian tubuh alamiahnya.
Tato adalah contoh penanda itu, karya seni hasil peradaban itu sendiri. Sekaligus merupakan sebuah media dalam masyarakat dan kelompok tertentu untuk saling mengenal dan berkomunikasi dan menunjukkan eksistensinya.
Tato, dan tradisi yang menyertainya adalah bagian kehidupan manusia, ia ada dalam tradisi seluruh benua dibelahan bumi ini. Afrika, Amerika, Eropa, Asia, Oceania, di benua Australia dan sekitarnya. Awalnya ia adalah konsumsi lokal kelompok masyarakat semata, namun kini dalam era global ia dapat menjadi konsumsi siapa saja yang menjadi anak jaman. Kata Tato, adalah peng-Indonesiaan dari tatto (English). Yang dapat diartikan sebagai goresan, gambar, atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh. Konon kata Tato, berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau”. Dan akhirnya memiliki istilah yang umumnya hampir sama diberbagai belahan dunia; tatoage, tatouage, tatowier, tattuagio, tatuar, tatuaje, tatoos, tattuaringer, tatuagens, tattoveringer, tattoos dan tatu. ( Tato, Hatib abdul kadir Olong, 83) Dalam bahasa Dayak ada yang menyebutnya Tutang, Pantang, Tedak .
Pada tradisi orang Dayak, Tato adalah ritual tradisional yang terhubung dengan peribadatan, kesenian dan juga pengayauan. Ia melekat ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian, penanda yang tidak terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi menunjukkan status sosial pemakai maupun kelompok tertentu. Gambar dan motif tertentu pada tato yang dikenakan orang Dayak ada yang dipercaya penggunanya merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat dan membawa keselamatan.

Dalam bukunya Dragon and Hornbill, Bernard Sellato mengungkapkan bahwa selain Dayak Tunjung dan Dayak Daratan, hampir semua kelompok suku Dayak di Kalimantan mengenal Tato sebagai penanda dan identitas kelompoknya. Terutama yang mengemuka di Kalimantan Barat adalah kaum lelaki Iban, Kayan dan Taman. Pada orang Dayak Kayan dan Kenyah, wanita mengenakan lebih banyak tato pada tangan dan kakinya untuk mempercantik diri.
Menurut Sellato pula, motif yang dikenakan kaum pria Dayak pada umumnya merupakan lambang kejantanan, keberhasilan dalam perang, dan identifikasi dalam pertempuran. Motif tato yang sering di gunakan merupakan cara untuk menangkal pengaruh jahat, penyembuhan penyakit, dan mempunyai makna religius, serta merupakan lambang alam semesta yang saling melengkapi. Seorang lelaki dewasa Dayak Iban yang telah berpengalaman dalam Mengayau, ataupun perantau dan berbagai kelebihan individu segera mengenakan lambang-lambang yang menunjukkan keperkasaannya. Ini adalah kebanggaan, prestise dan sebuah fase yang didambakan kaum lelaki saat itu.
Kaum perempuan menunjukkan kepiwaiannya dalam menenun dan menari. Bagi perempuan saat itu, menenun sama dengan tindakan perang yang dijalankan kaum pria. Keindahan tenunan, pemilihan motif merupakan sebuah keahlian yang bukan sembarangan, kemampuan ini diakui masyarakat sebagai prestasi yang patut ditandai dengan tato sebagai penghargaan dan penanda. Catatan ini menerangkan bahwa Tato pada perempuan Dayak Iban dan Kayan sangat berarti. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tato pada masa itu sangat penting keberadaannya ditengah masyarakat Dayak yang menyepakati untuk mengenakkannya. Ia adalah lambang, sekaligus representasi konsep hidup, konsep religiusitas ke-Tuhanan, sekaligus sebuah doa, bekal dan pesan bagi kehidupan.
Begitu jauh Tato berjalan mengarungi dunia, menembus semua lapisan, batasan. Namun Tato tetap bukan produk modernisme, ia lahir dan berasal dari budaya pedalaman, tradisional bahkan kuno.
Bunga Terung yang biasa dikenakan lelaki Iban, tertanam juga di bahu Flea, bassis Red Hot Chilli Papers (Band musik Rock biasa disingkat RHCP). Mike Tyson, meletakkan motif Maori di pipi dan dahinya. Sebaliknya, seorang mahasiswa Dayak di Yogyakarta dengan gagah menyimpan Che Guevara didadanya, lalu lambang “S” Superman di lengan kanannya.
Tato tradisi Dayak, ditengah fenomena globalisasi yang melanda seluruh muka bumi, sejauh apa ia diperlakukan, dikenakan dan dicintai dan dipelajari sebagai bagian dari sejarah dan tradisi? Dunia tidak merampasnya, namun ia kini tak lagi hanya menjadi milik orang Dayak saja, ia menjadi bagian dari budaya yang dimiliki dunia pula, dunia telah memintanya.
Telah terjadi kedangkalan pemahaman masyarakat kita menterjemahkan Tato dalam hidup sehari-hari ( seperti disampaikan dalam opini Bapak A.Halim.R Pontianak Post, Kamis, 3 Januari 2008).Banyak anak muda yang seolah latah mengenakan Tato sebagai identitas baru. Hal ini dapat disaksikan dikalangan pemuda Dayak di Kalimantan Barat. Konsepsi Tato adat dan tradisi tak lagi dipegang teguh bahkan tidak dipahami.
Sangat disayangkan, karena kedangkalan itu melanda kaum muda Dayak di Kalimantan, daerah yang memiliki tradisi dan budaya Tato yang pernah menjadi pusat perhatian dan dihargai dunia. Kalimantan Barat khususnya, adalah pemilik aset budaya tersebut, namun pengetahuan dan eksotisme lokal ini ternyata dilewatkan begitu saja sebagai suatu hal yang sia dan tak mendapat perhatian. Bukankah Tato tradisi Dayak dan orang yang mengenakannya sesungguhnya adalah sebuah aset budaya yang tak ternilai bagi pariwisata, ilmu pengetahuan dan sejarah lokal?
Mencermati keterpurukan pemahaman dalam berbagai aspek budaya di Indonesia, dalam bukunya Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, Umar kayam mengungkapkan, “Modernitas adalah mutlak dalam sebuah negara kebangsaan baru, dan dapat bersikap sangat keras terhadap kesenian tradisional. Modernitas menciptakan efisiensi yang tidak hanya merubah irama serta memendekkan kesenian tradisional itu, akan tetapi sesungguhnya merombak hal-hal yang paling dasar dari kesenian”.( Umar Kayam,Sesuatu Indonesia)

Modernitas dan gelombang globalisasi memang tak dapat dihindari, namun itu tidak berarti kita boleh membiarkannya dengan leluasa mengambil dan mengganti warna, memporak porandakan tradisi semaunya. Semakin pudarnya eksistensi Tato dan berkurangnya minat generasi muda Dayak menyandang tato tradisi tak lepas dari kesadaran baru masyarakat saat masuknya agama besar, dan kombinasi faktor lainnya dalam tatanan hidup masyarakat Dayak. Namun yang harus dikritisi adalah sikap pemerintah Indonesia melalui instansi yang berwenang di Kalimantan. Telah terjadikah sebuah usaha untuk tetap menjaga Tato (dengan segala dinamika, baik dan buruknya) sebagai bagian tradisi sebagai sebuah jejak leluhur yang patut untuk dipelajari, dikaji sebagai tanggung jawab moral terhadap generasi muda Indonesia?
Dibalik keberhasilan ekonomi dan propaganda pembangunannya, Orde Baru adalah gurita, yang mencengkeram seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pemuda dan generasi yang sudah dewasa tentu ingat fenomena “Petrus” sekitar tahun 1983-1985. Shock therapy yang dimobilisasi oleh negara demi sebuah alasan ketertiban dan keamanan. Eksistensi negara dalam “Petrus” saat itu di akui oleh Alm. Soeharto (mantan presiden ke dua) dalam biografinya : Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989). Tato menjadi sebuah stigmatisasi kejahatan, kriminalitas dan keberingasan yang harus ditumpas. Masyarakat kota di Jawa terhenyak dengan kerap ditemukan mayat dengan tubuh penuh lubang peluru, tusukan dan bekas penganiayaan: Umumnya tubuh itu bertato. Negara melakukan kontrol terhadap nasyarakatnya, dan masyarkat Dayak saat itu adalah masyarakat yang serta merta menjadi “orang terhukum” ditanah air, tempat adat istiadat dan budayanya berkembang.
Saya tidak mempunyai cukup pengetahuan dan data tentang apa yang terjadi di Kalimantan saat itu, namun dengan luasnya akses informasi mengenai seluruh rangkaian kejadian tersebut dapatlah dibayangkan bagaimana kecemasan Dayak-dayak yang terlanjur bertato demi menghormati tradisinya. Sebuah hasil karya seni, tradisi yang hidup jauh sebelum mereka menjadi bagian integral Republik ini, bahkan sebelum Indonesia di proklamirkan. Identitas budaya terseret menjadi lambang kriminalitas, dan stigmatisasi itu hidup hingga kini. Sehingga ada ungkapan yang diskriminatif pada 1960-1980, bahwa “orang bertato tak berhak menjadi ABRI dan Pegawai Negeri”. Memahami, menjalankan tradisi, ternyata dapat menjerumuskan nasib dinegara ini. Stigmatisasi yang hidup itu, mengakibatkan kecemasan dan unconfidence untuk menyatakan diri sebagai Dayak dengan tradisi mengenakan Tato sesuai tradisi Dayak.
Saat ini ketika rezim telah berganti, apa yang terjadi ditengah masyarakat di Kalimantan Barat (terutama kaum muda Dayak), sesungguhnya adalah sebuah pencarian baru, aktualisasi diri atas identitas budaya dan kebanggaan sebagai empunya tradisi. Terjadi sebuah kegamangan ketika “kedayakkan” dipertanyakan. Saya tak bermaksud berdalih, namun generasi Dayak yang hidup dan dewasa dalam masa Orde Baru adalah generasi yang terkungkung dan terlanjur di seragamkan menjadi nasionalis setengah jadi.

Benar adanya seperti yang disampaikan Jenkins didalam catatan Van Hulten, bahwa terjadi pembudayaan terhadap orang Dayak dimasa itu, dimana keberadaan mereka dianggap dapat merusak image Indonesia sebagai negara yang progresiv ( Herman Josef Van Hulten, Hidupku diantara Suku Daya,1992). Sehingga terjadilah aneka program yang dilakukan pemerintah dengan tujuan merubah, mengajarkan, mempengaruhi dan semua itu tanpa pertimbangan bahwa negara seharusnya memberikan perlindungan yang memadai bagi budaya tradisi lokal warga negaranya. Masyarakat lokal ketika itu tidak dipersiapkan dengan baik untuk menerima para transmigran, sehingga semakin terhimpit dan goyah dalam mengidentifikasi kedudukannya ditengah masyarakat yang kian mejemuk. Setelah satu persatu rumah Panjang dirubuhkan untuk diganti dengan pola yang baru, sesungguhnya orang Dayak telah kehilangan kedaulatan adat dan tradisinya.
Tak dapat di sangkal pula, melalui media elektronik terutama Televisi, pengaruh Eropa dan Amerika (barat), juga menjadi bagian penting perubahan besar yang terjadi pada masyarakat tradisi. Televisi menghantarkan realitas kedua dari belahan dunia lain, sehingga memotivasi untuk segera menjadi bagian dari dunia baru itu. Persoalan mode dan pola hidup adalah contoh yang paling cepat terlihat dari dampak itu. Pakaian, asesori dan aneka jenis perhiasan segera mempengaruhi gaya hidup. Globalisasi segera menyeragamkan manusia dalam suatu budaya massa yang sewarna, sehingga apa yang dialami masyarakat Dayak adalah fenomena biasa yang juga sedang terjadi dan dialami masyarakat dunia dibelahan bumi yang lain. Gencarnya arus globalisasi menjadi warna dan pengaruh besar yang memotivasi seorang atau kelompok segera menjadi bagian dari arus besar itu.
Perdebatan dan eksistensi Tato tradisi saat ini memang tak lagi up to date untuk di benturkan dengan kekinian. Dalam agama Islam, dalam moralitas agama Kristen, Katolik juga terdapat himbauan dan larangan untuk tidak ber-Tato, yang mencerminkan manusia merupakan citra Allah. Norma dan “kepantasan” yang tertanam dalam masyarakat juga demikian adanya.
Serupa dengan perdebatan tentang pornografi dan pornoaksi beberapa waktu yang lalu, agama dan Seni akan selalu memiliki batas yang abstrak. Seni dan kebudayaan merangkum semua pola pikir, aktivitas sosial hingga hasil dari aktivitas tersebut. Dalam hal ini agama juga dianggap merupakan hasil dari kebudayaaan manusia setara dengan kesenian.

Tato (baik dengan ritual tradisi atau tidak) merupakan anak kandung seni yang lahir dari kebudayaan, akan menjadi batu dan kerikil bila di pertemukan dengan konsep moralitas agama. Sebab (mungkin) agama akan mengurainya secara hitam dan putih, surga dan neraka. Indonesia sepantasnya berbangga bahwa tato tradisi Dayak (Kalimantan) diakui sebagai bagian dari rupa tato kuno yang hingga saat ini sebagian kecil masih bertahan eksistensinya. Tato tradisi dalam masyarakat Dayak adalah salah satu acuan dan referensi kebudayaan dunia. Untuk itu ada baiknya ia diteliti, dipelajari dan dipahami sebagai identitas budaya di Kalimantan sendiri. Sehingga ia tidak lagi disalah arti menjadi simbol sebuah ancaman ketertiban dan keamanan, ke-tidakberadab-an.
Muatan Lokal dalam silabus dan kurikulum tentang Kalimantan Barat telah dimulai di sekolah-sekolah, apakah Tato juga layak diangkat sebagai sebuah pengetahuan baru? Seorang teman yang pernah menempuh pendidikan di SMP Negeri 4 Kabupaten Bantul di Provinsi DI. Yogyakarta pada 1998-2001 mengaku mendapatkan muatan lokal membatik, mengenal motif-motif dan membedakan motif Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta dan Solo. Selain itu dipelajari pula kriya kayu, ukir, sablonase musik gamelan dalam karawitan Jawa dan berbagai aspek yang berkaitan dengan seni tradisi Jawa.
Memang tak elok membandingkan secara harafiah kualitas pendidikan dikedua daerah, namun apa yang telah dilakukan di Bantul dapat menjadi contoh bagi pendidikan daerah lain terutama di Kalimantan. Dimana pendidikan tak melepaskan basis budaya dan kemanusiaan sebagai bekal bagi siswa untuk menjadi seorang anak Indonesia yang maumengenal tradisi daerah asalnya.
Pendidikan sebagai dasar pijakan, adalah sangat penting bagi generasi muda Dayak dan Kalimantan secara umum. Nasionalisasi sebagai “Indonesia” harus diakui politis dan berkiblat pada pola yang dipengaruhi oleh etnis (dan mungkin) agama yang dominan, sehingga apa yang disebut kearifan lokal (yang tak sejalan) diabaikan demi politisasi kebudayaan itu sendiri.
Sesungguhnya banyak intelektual Dayak yang menyadari, namun mengabaikan proses ini dan menganggapnya adalah kewajaran. Tak akan ada generasi Dayak yang mampu membicarakan berbagai aspek budayanya bila tak ada kesadaran kolektiv dari generasi pendahulu untuk segera mendelegasikan sebuah pengetahuan yang baik tentang budaya Dayak. Hal ini tak dapat dimulai oleh komunitas lain, ia harus dimulai oleh Dayak-Dayak itu sendiri. Intelektual Dayak, terlihat sangat sibuk berpolitik, merebut posisi yang nantinya diharapkan akan mampu membuat semuanya terlihat sangat mudah terjadi oleh kekuasaan. Akses dan kedudukan sebagai decision maker dalam politik tentu sangat penting, namun tidak serta merta merubah nasib Dayak seperti membalikkan tangan. Yang terjadi berikutnya adalah perpecahan prinsip dan orientasi antara elite itu sendiri.

Tulisan ini jelas tak sempurna. Melalui ini saya berharap keresahan tentang eskistensi budaya Dayak, terutama tentang Tato sedikit terobati. Tulisan ini tidak juga bermaksud untuk mengajak generasi muda Dayak saat ini untuk ber-tato massal sebagai identitas baru. Masih banyak cara lain untuk “bangga” sebagai Dayak. Ketika Rumah Betang kini dapat dihitung jumlahnya, sebagai pusat perkembangan budaya ia sebenarnya tak lagi punya wibawa yang sama sepeti dimasa silam. Untuk itu diperlukan sebuah “Dayak Centre”, dimana pusat studi dan pengkajian dapat dilakukan secara terpadu. Diperlukan pula perpustakaan yang menyimpan data mengenai seluruh aspek budaya Dayak. Ini mendesak untuk dilakukan mengingat pola pewarisan lisan yang diandalkan oleh generasi sebelumnya terbukti tak cukup mampu manjadi pijakan dan sumber pembelajaran. Cerita rakyat, syair-syair, pantun, mantra-mantra, hukum adat, pemetaan wilayah, catatan, jurnal, makalah, hasil penelitian, berbagai hasil kesenian (musik,senirupa,kriya), motif ukir dan semua pengetahuan yang mungkin didokumentasi segera dilakukan dengan sadar. Semua ini dilakukan tidak untuk menciptakan generasi yang primordial, etnosentris dengan fanatisme kedaerahan dan militansi suku, namun untuk menciptakan kesadaran bersama bahwa kebudayaan Dayak adalah aset daerah dan aset kekayaan budaya bangsa.
Mempelajari rupa, motif, makna dan rupa Tato disekolah tidak serta merta menghimbau generasi muda untuk bertato, namun menyebarkan pengetahuan budaya. Sehingga bila Tato memang tak lagi dikenakan sebagai sebuah tanda dan identitas, ia tetap hidup sebagai hasil dari seni dan tradisi di Kalimantan Barat. Selanjutnya kita akan memiliki generasi yang paham tentang baik dan buruknya, juga sejarahnya. Dengan demikian tidak mudah terjadi latah untuk bertato tanpa memahami makna didalamnya.
Kebudayaan dan Tradisi Dayak banyak diperkirakan oleh Borneian akan segera hilang dari percaturan budaya nasional Indonesia, dan dunia. Ia akan segera menjadi sebuah kenangan dan memori indah masa lalu, bahwa di Kalimantan atau Borneo pernah hidup “Dayak” dengan kebesaran tradisi dan nilai didalam budaya. Ia akan tetap dikenang sebagai The great head hunters, atau bangsa penguasa rimba Kalimantan yang tak ada tandingnya. Dengan usaha kita bersama, berkarya dan berharaplah bahwa semua perkiraan itu tak demikian mudah terjadi, sebab ada generasi yang sadar dan disiapkan untuk menjadi generasi yang mencintai dan mau hidup didalam tradisi itu melalui transformasi budaya yang tepat

Sumber:
http://banuadayak.wordpress.com/2010/09/04/tato-dan-eksistensi-budaya-dayak/
www.gunadarma.ac.id

Sejarah Body Piercing


Sejarah Body Piercing

Sejak zaman purba, milik orang beragam budaya telah mendapat body piercing karena berbagai alasan. Motivasi di balik getting piercing telah berbeda untuk individu yang berbeda. Sementara beberapa mendapatkan bagian tubuh mereka ditusuk agar sesuai dengan norma-norma budaya, orang lain melakukannya untuk memberontak melawannya. Masih ada orang lain yang mendapatkan menusuk semata-mata untuk tujuan hiasan diri atau sebagai cara untuk mengekspresikan diri. Untuk melacak garis waktu praktek kuno, kita perlu mulai dari awal menyebutkan body piercing ditemukan dalam catatan sejarah.
Dalam budaya kuno
Para arkeolog telah menemukan mumi sisa-sisa manusia dating kembali ke lebih dari 5000 tahun yang lalu, yang memiliki tubuh tindik. Para sejarawan telah juga menegaskan bahwa praktek tindik badan merata di budaya Mesir. Menurut bukti-bukti budaya digali sampai tanggal, diyakini bahwa Mesir awal punya tubuh tindik untuk mencerminkan status sosial mereka serta untuk perhiasan diri. Hampir setiap pria dan wanita Mesir milik keluarga dengan baik untuk melakukan memakai busi yang lebih besar-gauge di telinga mereka. Ini biasanya terbuat dari emas dan memiliki motif bunga pada mereka. Namun, tindik pusar yang disediakan semata-mata untuk Firaun dan anggota keluarga kerajaan.
Bahkan Perjanjian Lama menyebutkan body piercing perhiasan yang dianggap sebagai simbol kekayaan dan keindahan berbagai suku bangsa milik kali Alkitab. The Badui dan suku-suku nomaden memberi penekanan khusus pada perhiasan tubuh yang juga diberikan sebagai hadiah untuk pengantin baru menikah pasangan. Sementara piercing melayani tujuan perhiasan diri dalam budaya banyak, hal ini dilakukan untuk alasan-alasan yang lebih praktis di Kekaisaran Romawi. Misalnya, perwira Romawi punya puting mereka menindik untuk menandakan tidak hanya kekuatan dan kejantanan tetapi penyatuan mereka dengan sisa sebangsa.
Para peneliti juga menemukan tubuh tindik catatan yang berkaitan dengan peradaban kuno Aztec dan Maya. Telah ditemukan bahwa Aztec mendapat menindik lidah mereka sebagai bagian dari sebuah ritual spiritual yang diyakini membawa mereka Tuhan mereka lebih dekat dengan. Menjadi prajurit suku, orang-orang milik suku ini juga mendapat septum piercing dan memakai taring babi hutan besar melalui hidung mereka. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengintimidasi anggota suku saingan.
Sejarah Piercing Hidung
Tindik Hidung adalah bentuk yang paling kuno menusuk wajah yang berasal di Timur Tengah hampir 4,000 tahun yang lalu dan menyebar ke anak benua India pada abad ke-16 karena pemerintahan Mughal. Bentuk piercing dilakukan oleh wanita yang percaya bahwa sebuah cincin hidung permata atau stud dipakai dalam menusuk meningkatkan keindahannya. Namun, menurut ilmu kedokteran kuno menusuk hidung Ayurveda memiliki tujuan yang lebih praktis.
Para praktisi Ayurveda percaya bahwa bagian kiri hidung wanita adalah berkaitan dengan sistem reproduksi mereka dan mengenakan sebuah cincin hidung atau pejantan akan mengurangi rasa sakit yang disebabkan karena kram menstruasi dan melahirkan. Karena lebih banyak perempuan kaya memakai cincin hidung berat yang diajukan risiko memotong melalui penindikan, cincin ini yang terkunci pada sebuah rantai hias yang melekat pada rambut untuk mendukung berat cincin.
Sejarah Ear Lobe Piercing
Antropolog di seluruh dunia percaya bahwa menusuk cuping telinga hampir pasti usaha pertama manusia untuk melakukan body piercing. Hal ini diyakini bentuk piercing dilakukan oleh suku-suku primitif untuk alasan ajaib karena mereka percaya bahwa roh-roh jahat bisa mengambil memiliki tubuh manusia dengan memasukkannya melalui telinga.
Namun, memakai ornamen logam di telinga menusuk seharusnya untuk mengusir roh jahat. pelaut Kristen memakai anting-anting yang terbuat dari logam mahal sehingga jika mereka meninggal di laut saat berperang dan tubuh mereka terdampar, anting-anting mereka bisa digunakan untuk membayar untuk penguburan yang tepat. Tindik lobus sangat populer di kalangan laki-laki dan perempuan.
Sejarah Tongue Piercing
Seperti yang telah disebutkan, Aztec dan suku-suku lainnya Amerika Tengah punya tindik untuk alasan rohani. Off terlambat, bentuk tindik badan telah menjadi marah di kalangan remaja yang merasa bahwa olahraga bar lidah mengintensifkan kepuasan seksual.
Sejarah Lip Piercing
Memperoleh menusuk bibir, juga dikenal sebagai labret piercing umum terjadi dalam suku-suku Aztec kuno Amerika termasuk yang memakai labrets berbentuk ular yang terbuat dari emas. Sejumlah suku-suku Afrika membutuhkan anggota perempuan untuk mengenakan cincin piring bibir atau bibir yang seharusnya untuk meningkatkan kecantikan mereka.
Sejarah Piercing Navel
Pusar atau menindik pusar mudah bentuk terbaru tindik badan yang telah menjadi mode di antara kedua pria dan wanita di seluruh dunia. Ini terlihat cukup memukau pada abs papan cuci