Monday, November 25, 2013

Etika Penggunaan Mesin Pencari di Internet Dalam Membuat Tugas Penulisan




Pengertian Mesin pencari atau search engine adalah suatu program komputer yang dirancang untuk membantu, mempermudah, mempercepat seseorang menemukan informasi atau data yang diinginkan. Mesin pencari (search engine) semacam “penunjuk jalan” untuk mencari sesuatu yang dibutuhkan.
Mesin pencari akan berfungsi setelah mempunyai kriteria database yang dibuat sebelumnya dan akan menampilkan hasil sesuai dengan kriteria mesin pencari. Cara kerja mesin pencari adalah dengan memasukkan kata kunci pada kolom pencarian kemudian mesin pencari akan bekerja melakukan pencarian di database serta menampilkan hasil akurat yang memuat kata kunci tersebut dari database yang ada. Jika pada database tidak ada kecocokan dengan kata kunci maka hasil tidak ditampilkan. 


Jika ditinjau dari lingkar dunia edukasi, kehadiran internet merupakan wahana yang terbaik untuk memudahkan para pelajar memperoleh akses data serta informasi yang tak terbatas seputar materi yang diajarkan di lingkup sekolah ataupun universitas. Namun, perlu diakui, akses yang tanpa batas tersebut kemudian dalam kondisi tertentu bisa berefek negatif. Terlebih jika tidak dibarengi pengawasan yang memadai.

Di dalam pasal 3 UU ITE disebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektonik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Pasal 4 juga menyebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
        a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
        b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan   kesejahteraan masyarakat;
        c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
        d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan   kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan   bertanggung jawab; dan
        e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

Sumber : www.postel.go.id/info_view_c_26_p_2024.htm
                  www.gunadarma.ac.id

Thursday, November 7, 2013

Netetique dalam berkomunikasi di era Sosial Media

Etika atau Etiket?
Publik seringkali menganggap dua hal itu sama. Bahkan media pun, kadangkala tak memahami perbedaan kedua hal itu. Beberapa kali saya membaca judul Etika bermedia sosial di koran, majalah, mendengar di radio dan menonton di acara TV.
Etika itu cabang filfasat tentang baik dan buruk. Saya bukan ahli filsafat. Tapi, sederhananya, apa yang disepakati hampir semua orang mengenai baik atau buruk, itu wilayah etika. Dalam praktik sehari-hari misalnya plagiat (baik untuk skripsi-tesis, atau bahkan sekadar status di Facebook atau twit) itu hampir semua orang sepakat itu buruk. Mengambil yang bukan hak kita, lalu mengakui itu sebagai milik kita itu tidak etis.
Sebenarnya, dalam diri kita sudah ada alarm yang memperingatkan kita yang ini baik, dan yang itu buruk. Contoh, ketika menemukan foto seseorang di ruang privat, tak baik disebarluaskan tanpa seizin yang difoto. Tak baik pula disebarkan di Facebook maupun Twitter serta media sosial lain. Demikian pula foto-foto korban pemerkosaan, korban kecelakaan yang berdarah-darah, serta foto-foto porno.
Maka ketika kita berbicara etika di social media, sesungguhnya kita berbicara mengenai etika sosial, yang selama ini dipegang erat di lingkungan sosial kita di offline, untuk diterapkan di online. Hal-hal yang dianggap oleh semua orang buruk di offline, tidak usah dibawa ke online dengan alasan apapun, termasuk alasan bahwa akun-akun social media itu akun privat.
Apapun yang tidak etis di offline,  juga tidak etis kita lakukan di online, termasuk di media sosial.
Maka yang paling penting dipahami oleh pengguna media sosial itu etiket alias tatacara, atau sopan santun.
Lho buat apa etiket? Bukankah akun kita di social media itu milik kita sendiri? Suka-suka kita dong. Kita mau mengeluh, marah-marah, bete di Facebook maupun di Twitter terserah kita dong.
Kita bebas merokok di rumah kita sendiri. Tapi ketika ada tamu, yang kita tahu bukan perokok, apakah akan tetap klepas klepus merokok di depannya? Bukankah kita otomatis menahan diri tidak merokok selama ia bertamu?
Apakah ketika kita sedang makan bersama dengan orang lain kita boleh kentut atau bersendawa sembarangan?
Kehadiran orang lain, mau tak mau, membuat kita bersama-sama membuat etiket, baik yang tertulis maupun tidak.
Yang tertulis, sudah dibuat oleh Twitter sendiri, antara lain tidak boleh menggunakan gambar-gambar pornografi, baik untuk foto profile, header maupun background. Selengkapnya, baca aturan Twitter di sini.
Yang tak tertulis antara lain:
1. Twitlah kurang dari 140 karakter. Sebaiknya tak usah lebih panjang, meski bisa dibaca dengan menggunakan Twitlonger.
2. Jika hanya satu yang bertanya di Twitter untuk satu topik, cukup dijawab dengan fasilitas Reply, bukan RT. Jawaban dengan RT sebaiknya dilakukan jika yang bertanya sangat banyak, dan jawaban tersebut ditujukan untuk semua penanya.
3. Berinteraksilah dengan follower. Jangan ngomong sendiri. Twitter bukan medium satu arah. Bukan pula dua arah. Tapi multiarah.
4. Jangan menggunakan huruf besar semua nanti dikira twit marah-marah
5. Jangan menfollow orang agar kita difolback, lalu setelah itu kita unfollow mereka.
6. Tak perlu memaksa meminta folback karena Twitter bukan jejaring pertemanan seperti Facebook
7. Banyak-banyaklah berbagi ke follower: berbagi ilmu, berbagi keceriaan, berbagi kesempatan.
Daftar etiket bisa diperpanjang sesuai dengan perkembangan perilaku interksi di masing-masing media sosial ini.
Twitter tergolong encer dalam hal etiket ini karena basisnya bukan pertemanan seperti di Facebook. Twitter itu jejaring informasi. Kita tak perlu izin untuk menfollow seseorang di Twitter, kecuali akunnya digembok. Akun bergembok itu memperlakukan Twitter seperti Facebook.
Kita menfollow bukan karena orangnya tapi karena informasinya. Tak perlu kenal orangnya, bahkan jika akun itu dengan nama alias (pesudo, orang sering sakah sebut dengan anonim), asal infonya kita anggap menarik, maka kita follow. Jika kita di kemudian hari tidak suka, tinggal di-unfollow. Mudah.
Saking encernya hubungan di Twitter, inetarkasi di jejaring informasi ini lebih memberikan keleluasaan penggunanya dibanding Facebook, sehingga melahirkan inovasi-inovasi baru seperti KulTwit dan TwitWar yang kurang nyaman jika dilakukan di jejaring pertemanan seperti Facebook.
Maka, pada prinsipnya, di Twitter kita boleh melakukan apa saja, asal tidak melanggar aturan Twitter. Ingat, akun kita itu hanya pinjaman dari Twitter. Sebagai pemilik asli, Twitter bisa menutup akun kita jika kita melanggar aturannya.
Boleh mengeluh dan maki-maki di Twitter? Boleh.
Boleh pamer di Twitter? Boleh saja.
Boleh jualan di Twitter? Tentu saja boleh.
Boleh berantem alias twitwar di Twitter? Boleh. Siapa yang melarang?
Boleh pacaran di Twitter? Halah, boleh…boleeeeeeh.
Boleh me-RT pujian juga? Boleeeeeeeeeeeeh! *awas kalau tanya lagi*
Semua boleh asal tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan Twitter.
Nah, dengan kekebasan seperti itu, follower punya kebebasan menekan tombol mute, unfollow, blok sampai spam.
Jika twit orang yang kita follow sering nyebelin, gampang solusinya: mute atau unfollow
Jika sudah di-unfollow masih mention dengan twit-twit nyebelin? gampang: blok saja.
Jika twit isinya fitnah melulu, adu domba, atau pornografi? Gampang: report spam.
Nah, jika kita tidak ingin kena tombol-tombol ajaib itu, ya balik ke atas lagi: perhatikan etiket.